Rabu, 23 April 2008

Cuplikan Novel Senggigi Moon

Menjelang tidur, kubuka surat Julia. Tiba-tiba saja kerinduanku empat tahun lalu terobati, hanya dengan menatap goresan tulisannya yang tertera di amplop surat. Dengan sangat hati-hati kulepas perekat di mulut amplop. Bau wangi cendana memancar keluar.“Dear, Putu. Empat tahun aku tak pernah membalas suratmu.Maaf, kamu saja yang mengirim surat padaku. Aku tahu, setelah kubuka box surat di depan apartemenku.Suratmu sekitar lima belas pucuk berhamburan keluar, aku koleksi dalam boxfile pribadiku. Semua isi suratmu, baru saja habis kubaca. Maklumlah, selama empat tahun aku tak pernah pulang ke Sidney. Aku berpetualang di lereng Himalaya memperdalam yoga pada seorang sramana yang bernama Kosirawa. Sangat banyak ilmu yang aku peroleh di sana. Sampai kisah perjalananku aku bukukan di Melborne. “Yang paling berkesan saat mempelajari pernafasan yoga. Kendati belum sempurna, aku sangat merasakan perubahan pada diriku. Aku punya ketenangan. Aku selalu merasa senang, jarang kedukaan menghampiriku. Aku selalu bahagia. Libidoku terjaga. Putu, alam ini adalah maya. Dia selalu berubah, tidak pernah kekal. Namun kita harus menikmati alam maya ini. Tidak ada yang lebih berharga dari kepuasan. Aku mengalaminya dalam perjalanan aku menelusuri lembah Himalaya. Sramana itu mengarahkan aku menuju puncak, tanpa menyentuh puncak. Aku bisa. Berhasil meraih harapan itu. “Dalam buku ini aku awali dari proses kesepian, karena aku telah lahir di alam maya. Sendiri. Tatkala aku harus lahir melalui proses pertemuan keinginan yang sublim. Aku menghirup bayu. Mengisi sel-sel keinginan untuk tetap ada. Aku tetap hidup, dalam ribuan sel yang mati, lahir dan mati lagi. Luar biasa. Aku tetap hidup, di atas kematian jutaan bahkan milyaran sel setiap saat. Setiap waktu. Suatu situs reinkarnasi terjadi dalam tubuhku. Kendati aku sendiri tidak menyadarinya, reinkarnasi tetap ada. Seperti penjelasanmu saat itu, tentang inisiasi dari suatu komunitas keyakinan; dari masa berada dalam janin, tiga bulan, enam bulan, akil balik, naik dewasa, perkawinan, kematian selalu terjadi setiap waktu. Semua itu diwujudkan dengan disaksikan oleh anggota komunitas. Kemudian diacarakan sehingga menjadi sah. Sekarang aku mengerti. Karena proses itu memintanya demikian. Sesuai dengan dinamika maya. “Selanjutnya, analisa kehidupan yang aku tulis di buku dua, seperti aku menahan nafas karena terkejut. Sempat terjadi stagnasi, aku tidak siap menerima kehidupanku sendiri. Semakin lama aku menahan nafas semakin kosong, sampai akhirnya aku merasa tersiksa dalam ketenangan. Kekuatan metafisik menjalari seluruh tubuhku, ada perasaan gemericik, gempa dahsyat, badai, kilat menyambar dan fenomena alami lainnya. Sampai aku melepas nafas dan sangat bahagia sekali rasanya. Dalam buku tiga, seiring aku melepas nafas aku menyadari kematian itu penting, karena puncak segala-galanya. Sel-selku yang membawa pesan ketidak-sempurnaan harus mati dulu untuk melahirkan sel yang sempurna. Namun itu tidak terjadi, kendati terjadilah. Mereka harus mengulang. Mengulang dan mengulang lagi.”Aku tutup suratnya. Kuresapi dalam-dalam tulisan Julia Gates, sahabatku. Intinya, telah setengah perjalanan, ia berusaha menemukan apa yang dicarinya selama ini. Entah kenapa, sering obsesiku menghentikan petualangannya yang liar. Julia, dulunya seorang seniman. Ia pernah bertandang ke Bali, aku mengenalnya saat ia berkunjung ke tabloid budaya tempatku menulis cerita bersambung, tepatnya di jalan Nangka. Ia ke mari, untuk belajar seni tari ke maestro-maestro tari di seluruh Bali. Dan, yang paling disukainya adalah tarian-tarian sakral, seperti pementasan barong dan rangda, tarian-tarian trance seperti sangiang dedari, sangiang jaran, sangiang legong, sangiang bojog dan lain-lainnya. Sehingga aku sering dimintanya untuk menghantarkannya ke pelosok-pelosok sampai ke pedalaman berburu tarian itu. Hampir segudang foto-fotonya, tentang tarian mistis. Kadang aku kepingin menghiasi koleksi fotonya, dengan berpakaian tari. Ia menolak, tidak orisinal katanya. Nyamuk gatal yang menempel di leherku, menyadarkan lamunanku. Kutersenyum. Lama, aku menimang-nimang surat itu sebelum akhirnya mataku tak tahan lagi berkedip, aku mengantuk. Tidur. Di alam mimpiku, Julia berubah menjadi manusia aneh yang mengerikan.***

1 komentar:

micha mengatakan...

apakah judul ini terinspirasi dengan maribeth "denpasar moon"