Wacana DR. Yuke Ardhiati Terhadap Cerpen-cerpen Putu Sugih Arta
Taman Sriwedari!
Barangkali hanya sebuah mitos! Namun, nostalgia masa kanak-kanak terhadap taman rekreasi di sekitar tahun 1970 di kota Solo bangkit kembali. Betapa tidak? Ditengahnya terdapat sebuah danau dengan taman bunga teratai yang menyembul di atas air. Ada suasana ’praon ’ – berperahu mengelilingi danau tersebut bersama keluarga. Di taman kebanggaan Wong Solo itu, digelar secara rutin cerita Mahabarata melalui pagelaran Wayang Wong. Sepulangnya, masih ada sisa canda ria dengan bermain ’cipratan air’ di sebuah kolam dengan nuansa estetis yang khas, yaitu patung Gatotkaca dengan Dewi Pergiwa sedang berpangkuan!
Putu Sugih Arta, kembali menghadirkan ’Taman Sriwedari’ dari Swargaloka dalam karya sastra gubahan kisah legenda Mahabarata di era milenium 2007 ini. Ia ditampilkan sebagai ruang yang menghadirkan bunga keabadian ’Sumasana’ yang haram disentuh sekalipun oleh Arini, Sang Bidadari sekalipun. Namun ’Taman Sriwedari’ pun adalah juga sebuah keniscayaan ketika seorang Sumantri harus ’mengusung’ taman Swargaloka itu ke bumi, sebagai hukuman baginya ketika ia meragukan titisan Sang Wisnu pada jasad fisik Prabu Arjuna Sasrabahu. Simbol apakah ’Taman Sriwedari’ itu?
Tujuh cerpen yang gubahan cerita klasik ini, tidak hanya bermakna sejuta etika dan tatakrama simbolik yang ditawarkan sebagai alternatif perilaku, akan tetapi juga mengusik kalbu untuk mampu menanamkan hubungan vertikal kepada Sang Langit, Sang Khalik. Betapa sebuah skenario kehidupan di bumi sudah digariskan. Dalam khasanah Islam, semua skenario kehidupan bumi telah tercatat dalam Lauh Mahfuzh.
Cerpen ini mengusik emosi ke dalam ranah ke-Hindu-an yang kental tak terelakkan, sebagai ekspresi -religi Sang Penulis yang dibesarkan di Belahan Timur Indonesia. Pas.
Dengan penanya, ia mampu menyuguhkannya secara kontemporer, sehingga karya sastra klasik ini tidak hanya terkulai beku dalam perpustakaan kuno.Melalui cerpen yang dirangkai secara padat kata, Putu masih mampu menyisakan pesan-pesan moral bagi kehidupan kekinian melalui simbol-simbol etis seperti; perkawinan gandarwa wiwaha, ’laku-upaya’ seorang Dewi Durgandini ketika mencari kecantikan fisiknya, ’sayap sutra’ Dewi Sakuntala, ’cinta-tulus’ seorang Sukrasana, ’Jiwa-cemburu’ Sang Karna serta ’kesucian-garba’ seorang Kunti.
Gubahan karya Putu Sugih Arta, setidaknya merupakan Cultural Resource yang kelak layak memperoleh apresiasi Moral Right dari Perlidungan Hak Cipta untuk karya tradisi yang kini sedang diperjuangkan melalui isue Traditional Cultural Expression / Expression of Folklore (TCE) sebagai payung hukum atas karya dari kesemanaan pihak lain.
Dr. Yuke Ardhiati